Sunday, September 11, 2005 By: adedepok

Berguru Kepada Ramadhan

Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)."
Bulan yang paling bernasib baik adalah Ramadhan. Ia mendapatkan kehormatan sebagai tuan rumah kehadiran tamu mulia yang bernama al-Qur'an. Seakan al-Qur'an tak berkenan turun di sembarang bulan. Untuk turun secara keseluruhan dalam satu kitab atau turun pertama kalinya dalam lima ayat Surat al-'Alaq --yang pertama disebut lailatul qadri, dan kedua nuzulul Qur'an-- bulan Ramadhanlah yang terpilih sehingga di dalamnya menjadi mulia, barakah, dan benih rahmat.
Soal pilih memilih itu tidak ada hubungannya dengan prestasi atau amal shalih yang pernah dilakukan oleh bulan Ramadhan. Semua itu semata-mata atas kehendak Allah swt. Ramadhan memang bernasib baik.
Kita ingin bernasib seperti itu, yakni dipilih Allah sebagai tempat turun wahyu al-Qur'an. Kita ingin al-Qur'an turun kepada kita dalam bentuk hidayah dan taufiq. Bukan sebatas dalam bentuk bacaan, hafalan, dan pemahaman, sekalipun ketiganya sebenarnya penting dalam rangka meraih hidayatullah (petunjuk-Nya). Hanya saja jika ketiga hal itu mandeg di tengah jalan tanpa melangkah pada jalan Allah, tingkat kemunafikan kita semakin berbobot dan sulit beralih menjadi muslim kaffah.
Oleh karena itu sesungguhnya kita mesti banyak berguru kepada bulan Ramadhan. Berada di bulan itu anggap saja kita berada di sebuah perguruan tinggi, Universitas Ramadhan. Selama sebulan penuh kaum muslimim menjalankan masa pendidikan di 'fakultasnya' masing-masing sesuai bakat, kemampuan, dan peran yang diemban. Kita memang sama beriman, tetapi tugas dan kualitas tentu berbeda. Yang sama adalah semangat dan ambisi kita untuk diwisuda oleh Allah dengan gelar muttaqin.
Lantas kita rayakan kemenangan itu di hari Lebaran, ber-'Idul Fitri. Sembilan kali Rasulullah dan segenap ummat Islam zaman itu merayakan hari raya 'Idul Fitri. Dari hari raya ke sembilan, Rasulullah dan kaum muslimin merasakan puncak kemenangan lahir dan batin.
Menang bukan hanya dalam pengertian individual berupa tunduknya hawa nafsu dalam kekuasaan dirinya yang fitrah, tetapi juga kemenangan komunal di kota Makkah berupa tunduknya orang-orang kafir di pusat kekuasaan mereka sendiri. Kemenangan itu amat mulus dan indah tanpa sepercik darah pun menetes.
Sudah sejak lama kita merindukan kemenangan 'Idul Fitri sebagaimana yang pernah dialami ummat Islam di zaman Rasul itu. Selama ini kedukaan senantiasa mengiringi saat-saat kita ber-'Idul Fitri. Ummat Islam telah menjadi bulan-bulanan dan maf'ul bih (obyek) bagi kaum kafirin.
Dalam pengertian individual, bisa saja seseorang merayakan 'Idul Fitri dengan perasaan bahagia tanpa terselip duka. Hal itu agaknya layak, karena sebulan suntuk sebelumnya ia telah mati-matian bertarung melawan nafsu iblisiyah, dan bersyukurlah bisa menang. Yang menjadikannya merasa belum puas adalah, karena ia sebenarnya masih terus berfikir tentang nasib ummat Islam secara keseluruhan yang belum menggembirakan. Orang-orang kafir masih leluasa mempermainkan kaum muslimin sesuka hati. Mentang-mentang mereka sedang unggul di banyak hal, aspek ekonomi, sosial politik, budaya, dan iptek. Dari Somalia hingga Bosnia, dari India hingga Afghanistan, ummat Islam sedang berada dalam cobaan.
Menyaksikan kebiadaban anak buah Qabil dan kehinaan orang Islam menghadapinya, kita bisa menjadi marah luar biasa. Kemarahan dan kebencian bagitu memuncak, sampai-sampai kita jadi lupa tentang masalah mendasar yang sebenarnya. Benarkah derita ummat Islam selama ini diakibatkan oleh polah tingkah ummat kafirin? Jangan-jangan kejahatan dan kebejatan orang kafir terhadap orang Islam itu hanya akibat saja dari ulah perilaku ummat kita sendiri.
Kita sendirilah yang menyebabkan keadaan layak-hina itu. Justru bila pujian dan keseganan yang kita peroleh dari kaum kafirin, kita akan merasa mendapatkan ejekan yang lebih menyakitkan. Sementara harapan Allah sebenarnya begitu besar kepada ummat Islam yang hidup dengan membawa nama-Nya. Tentu seharusnya ummat Islam tampil baik, karena melangkah di jalan Allah dan dalam petunjuk-Nya. Ya, semestinyalah penampilan ummat Islam mencerminkan pribadi sebagai orang yang bertaqwa, sebagai muttaqin.
Harapan itulah yang hendak dicapai dengan puasa di bulan Ramadhan sebagaimana sering dititipkan khatib pada setiap khutbah Jum'at. Jika gelar taqwa teraih, niscaya Allah akan memuliakan jama'ah muslimin: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu." (Al- Hujurat: 13)
Jika Allah memuliakan hamba-Nya tak akan mungkin orang-orang kafir melecehkan. Itulah yang terjadi pada jaman Nabi dan para sahabat. Bukan saja Allah memuliakan mereka, orang kafir pun dibuat segan. Padahal ummat Islam saat itu masih ketinggalan di bidang ekonomi dan teknologi. Tetapi karena memiliki kekayaan di bidang aqidah, istiqamah, dan jihad, keunggulan pun mereka dapatkan.
Sekarang kekayaan apakah yang bisa membuat kita berwibawa dan tidak hina di hadapan Allah dan orang-orang kafir? Jawabannya, al Qur'an. Tapi apakah arti al-Qur'an di depan orang-orang yang tidak yakin akan kemukjizatannya? Ibarat Musa yang menggenggam tongkat mukjizat, tapi ia sendiri masih ragu-ragu akan khasiatnya. Maka tongkat itu tak bermanfaat apa-apa dalam menghadapi ular-ular tukang sihir.
Orang yang yakin kebenaran al-Qur'an akan menampilkan bukti berupa membaca, mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkannya sesuai contoh perjalanan Nabi Muhammad saw.
Berguru kepada bulan Ramadhan berarti berguru kepada al- Qur'an. Akrab dan bercumbu dengan Ramadhan berarti cinta kepada al-Qur'an. Karena al-Qur'an turun di bulan suci itu sebagaimana dikisahkan dalam surah al-Baqarah 185 yang telah dikutip di atas.

0 comments: