Sunday, September 11, 2005 By: adedepok

Di Mana Memburu Malam Qadar?

Di akhir Ramadhan ini, yang paling ramai dibicarakan biasanya adalah 'perburuan' Lailatul-Qadr. Apakah ia hadir pada hari tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu?
Nabi saw menganjurkan ummatnya untuk meningkatkan secara sungguh-sungguh gerak dan semangat ibadah dalam mengakhiri bulan Ramadhan. Anjuran itu bahkan bukan berhenti sebagai 'perintah' saja, melainkan dicontohkan langsung. Rasul biasa tidak pulang pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, kecuali untuk keperluan-keperluan mendesak. Kegiatan beliau terpusat di masjid, siang ataupun malam.
I'tikaf seperti yang dicontohkan beliau itu kini juga sudah banyak diikuti ummatnya. Ada kalangan yang sengaja meliburkan semua kegiatannya di akhir Ramadhan, diganti dengan i'tikaf. Di antara semangat i'tikaf itu ialah untuk mendapatkan kesempatan berjumpa dengan satu malam paling mulia, malam Qadar.
Bahwa malam Qadar memiliki keutamaan yang luar biasa, sudah sama-sama kita ketahui. Bahkan Allah telah memberikan nama terhadap salah satu surah dalam al-Qur'an dengan nama malam itu, yakni Surah al-Qadr:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur'an pada malam Qadar. Dan tahukah kamu, apakah malam Qadar itu? Itulah malam yang yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu para malaikat dan Malaikat Jibril turun dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar."
Ada yang menghitung seribu bulan dengan 83 tahun lebih, sehingga begitu menggebu untuk mendapatkannya. Tetapi ada pula yang lebih memahami kata 'seribu bulan' itu sebagai kiasan bahwa tingkat kemuliaan malam itu memang tiada bandingnya.
Umur rata-rata manusia saja tidak sampai 83 tahun, sehingga bila ia mendapati malam itu, berarti sepanjang hidupnya akan penuh dengan kemuliaan. Tetapi benarkah gampang mendapatkan janji Allah itu? Bagaimanakan sosok dan cara menjumpainya yang memiliki dampak secara nyata? Apakah mungkin mendapatkannya secara kebetulan, ibarat mendapat lotre?
Allah memang Maha Berkehendak. Kalau Ia mau, gampang saja menakdirkan si A atau si B untuk mendapatkannya. Tetapi ada yang namanya sunnatullah, sebagai 'cara' Allah menetapkan sesuatu yang bisa dipahami oleh hamba-Nya. Sunnatullah itu berlaku universal, penuh keadilan, dan logis, sehingga tidak mungkin mengundang protes. Itulah pula yang berlaku dalam penentuan 'nasib' manusia.
Allah telah berfirman, "Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata, 'Jadilah', maka ia jadi." (QS. Yaasin: 82). Tetapi dalam 'kun' (jadilah) itu sendiri terkandung ketentuan-Nya yang berupa sunnatullah. Dr. Quraish Shihab menulis dalam salah satu tafsirnya, bahwa 'kun' itu tetaplah melalui suatu proses. Hal ini sama sekali bukan dimaksudkan mengurangi kekuasaan Allah, tetapi dalam hubungan dengan hamba-Nya, Allah tetap memberlakukan cara yang bisa dipahami oleh hamba itu. Karena bila tidak demikian maka bagaimana manusia bisa yakin terhadap janji-janji dan ancaman-Nya? Manusia bisa berdalih, 'Bila Allah menghendaki saya baik, maka saya akan baik dengan sendirinya.' Dan bila ternyata tidak, mereka akan menimpakan 'kesalahan' itu kepada yang menentukan 'takdir'.
Karena itu tetap ada keterkaitan antara masuk surganya seseorang dengan amal dia selama di dunia. Sementara untuk bisa beramal yang baik, ia tentu juga harus melakukan upaya sebelumnya. Artinya, hidayah Allah yang menuntunnya kepada kebaikan itu tidak datang dengan begitu saja. Ada proses yang mendahuluinya, yang bersifat subyektif.
Mereka yang tidak pernah berbuat baik kepada orang lain -- dan karenanya tidak layak masuk surga-- tentu saja juga sulit untuk mendapatkan hidayah semasa di dunia, kecuali ada proses taubat terlebih dahulu. Mereka yang terbiasa makan barang haram, juga tidak bisa berharap terjadi keajaiban lalu tiba-tiba mendapatkan petunjuk Allah lantas mengakhiri hidupnya dengan husnul-khatimah.
Demikianlah pula halnya dengan anugerah Lailatul-Qadr. Malam penuh kemuliaan yang bisa menjamin seseorang hidup mulai sepanjang hayat itu tidak akan turun kepada sembarang orang. Jangan mimpi, mereka yang tidak peduli terhadap malam Ramadhan yang lain, lantas 'menghadang' Malam Qadar di akhir Ramadhan. Jangan pula berkhayal bisa mendapatkannya bila kehidupan sehari-hari sebelumnya penuh dengan kesia-siaan dan kemasiatan. Allah tidaklah bodoh dengan memberikan anugerah ke tangan yang salah.
Sebuah karunia --yang bisa disetarakan dengan hadiah atau penghargaan-- senantiasa hanya akan diberikan kepada mereka yang layak untuk mendapatkannya. Allah memang bersifat Rahman, yang berarti selalu memberikan kasih sayang kepada semua makhluk tanpa pandang bulu. Tetapi kasih sayang berupa rezeki itu sebenarnya tidak selalu membawa penerimanya kepada kondisi yang lebih baik. Tergantung bagaimana mereka menyikapi dan menggunakannya. Hamba yang tidak mendapatkan karunia, tidak akan bisa memanfaatkan rezeki itu untuk sesuatu yang bermanfaat dunia akhirat. Justru fasilitas dari Allah itu dipergunakannya untuk melicinkan jalan kemaksiatan. Orang demikian, layaknya adalah mendapatkan hukuman, bukan penghargaan.
Karena itu, tiada jalan lain untuk mendapat karunia besar Allah berupa Malam Qadar kecuali dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas semua unsur peribadatan. Prosesnyapun tidak bisa sebentar. Bila tahun ini tak tertangkap, mungkin tahun depan. Bahkan mungkin bertahun-tahun. Setelah Allah melihat tingkat keistiqamahan, melihat kesungguhannya, melihat pengorbanannya, melihat jihad dan hijrahnya, dan lain-lainnya, barulah 'pengakuan' diberikan. Caranya bisa bermacam-macam, salah satunya dengan dipertemukan dengan Malam Qadar.
Apakah bila demikian, kemudian kita yang merasa diri belum cukup baik ini tak perlu melakukan sesuatu untuk menyongsong Malam Ramadhan? Tentunya juga tidak. Malam-malam di bulan Ramadhan, pada hari keberapapun, tetap perlu untuk dihidupkan sebagaimana anjuran Nab saw. Kita meningkatkan volume dan kualitas ibadah di akhir Ramadhan pun sebenarnya dalam rangka memenuhi perintah Nabi saw. Adapun tentang menjumpai Malam Qadar, itu akan terjadi secara otomatis bila setiap malam kita sudah aktif. Sungguh wajar, orang yang biasa melek malam akan menyaksikan sesuatu yang terjadi pada malam hari. Bila meleknya diisi dengan main kartu di gardu, maka yang disaksikannya paling-paling adalah kejar-kejaran anjing dengan kucing, misalnya. Tetapi mereka yang terbiasa mengisi malam harinya dengan sesuatu yang bermanffat, mengisi hari sesuai anjuran Nabi, maka mereka akan mendapatkan lebih banyak jalan untuk berbuat baik.
Malam Qadar ibarat sebuah 'pengakuan' dari Allah, sekaligus pengumuman kepada khalayak bahwa sang penerima layak mendapatkan predikat yang mulia.
Idul Fitri dan Parcel
Setelah parcel membudaya sebagai salah satu pelengkap ucapan selamat, ummat Islam seperti tak mau ketinggalan, mengirimkan parcel untuk ucapan Selamat Idul Fitri. Cara ini boleh-boleh saja, sekalipun semula bukan budaya Islam. Cara penghormatan dengan mengirimkan sesuatu tetap saja ada nilai tambahnya sebagai penyambung silaturrahim, apalagi ada kalangan yang sulit untuk saling bertemu langsung.
Tetapi karena harga parcel ini tidaklah selalu terjangkau semua kalangan, merupakan hal penting untuk bisa menjaga diri bagi yang mengirimnya. Misalnya untuk tetap menjaga jangan sampai terjadi semacam kesenjangan atau terbentuk jarak dengan mereka yang tak bisa mengirimkannya. Bagi yang menerimapun, hendaknya bisa juga tenggang rasa. Kalau di kantor, tak usah segan-segan untuk bagi-bagi hadiah, toh kehadiran kiriman itu juga biasanya atas nama lembaga.
Dan yang lebih penting lagi, isi dari kiriman itupun hendaknya disesuaikan dengan keberadaan kita sebagai ummat Islam. Kalau untuk kalangan lain di antara barangnya kadang terselip makanan atau minuman haram, maka bagi ummat Islam bisa diganti dengan yang lain. Kalau perlu bukan selalu berupa barang konsumsi, tetapi juga bisa buku bacaan atau kaset yang bermanfaat.

0 comments: