Sunday, September 11, 2005 By: adedepok

Pertanyaan yang Sering Muncul di Bulan Ramadhan

"Bagaimana hukumnya seorang Muslimah yang minum obat penunda haidh agar tidak tertinggal puasa Ramadhan? Jika seseorang makan dan minum di bulan Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal? Bolehkah melakukan tranfusi darah ketika sedang berpuasa? Batalkah puasa orang yang berdusta di bulan Ramadhan?"


Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hampir selalu muncul di setiap bulan Ramadhan, khususnya pada acara dialog Ramadhan di radio dan televisi. Biasanya pertanyaan demikian sudah dijawab oleh ustadz penyampai materi pada acara bersangkutan. Namun pada tahun berikutnya biasanya akan selalu muncul kembali.
Mungkin ada sebagian khalayak yang masih belum mengerti atau lupa atas penjelasan terdahulu, sehingga terpaksa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Pada tahun ini bukan tak mungkin hal yang sama kembali ditanyakan orang.
Untuk itu Sahid mencoba merangkum berbagai tanya-jawab tentang masalah-masalah tersebut dengan bersumber dari fatwa-fatwa ulama faqih. Semoga berguna.
Apa hukumnya makan sahur, wajib atau sunnah? Syarat sah puasa atau bukan?
Isyarat tentang makan sahur terdapat dalam al-Quran dan Hadits berikut ini. "Dan makan serta minumlah kamu sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (Al-Baqarah: 187). "Bersahurlah, karena dalam sahur itu ada berkah!" (Muttafaq alaihi dari Anas).
Kedua nash tersebut secara jelas menunjukkan perintah untuk makan sahur. Tapi berdasarkan praktek yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya para ulama mujtahid (yang berijtihad menentukan hukum) sepakat bahwa perintah tersebut kadarnya sunnah, bukan wajib. Hal ini juga didukung oleh banyaknya hadits lain yang menerangkan berbagai keutamaan ibadah makan sahur antara lain membawa berkah dan mengundang rahmat Allah Swt, didoakan para malaikat serta menguatkan tubuh. Dengan demikian, ia bukan merupakan syarat sahnya puasa, karena tidak melaksanakannya pun tidak apa-apa.
Seseorang terlambat sahur karena kesiangan. Ketika sedang makan tiba-tiba terdengar adzan Shubuh. Apakah ia harus menghentikan makannya atau terus?
Apabila jelas dan tegas bahwa adzan fajar itu dilakukan tepat pada waktunya, sesuai dengan kalender negeri tempat orang tersebut berpuasa, maka wajib atasnya meninggalkan makan dan minum seketika ia mendengar adzan. Adapun jika ia mengetahui bahwa adzan itu dikumandangkan sebelum masuk waktunya selama beberapa menit, atau setidak-tidaknya masih diragukan, maka ia boleh makan atau minum sehingga ia yakin akan terbitnya fajar.
Pada masa sekarang hal ini mudah diketahui dengan adanya kalender (jadwal imsakiyah) dan jam yang terdapat hampir pada setiap rumah. Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas, "Saya makan sahur, maka apabila saya ragu-ragu saya berhenti." Ibnu Abbas menjawab, "Makanlah selama engkau ragu-ragu, sehingga engkau tidak ragu-ragu lagi."
Jika seseorang makan dan minum di bulan Ramadhan karena terlupa, apakah ibadah puasanya menjadi batal?
Apabila makan dan minumnya karena terlupa, puasanya tidaklah batal. Makanan yang ia telan boleh dikatakan rizki dari Allah. Namun setelah teringat bahwa ia sedang berpuasa, maka orang tersebut harus melanjutkan puasanya pada hari itu hingga saat berbuka.
Hal ini telah dijelaskan dalam Haditas yang disampaikan Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi SAW pernah bersabda: "Barangsiapa lupa bahwa ia berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya (pada waktu itu) Allah memberinya makan dan minum." (HR Bukhari dan Muslim). Di dalam lafal Daruquthni dengan sanad shahih diriwayatkan: "Sebenarnya itu adalah rizki yang diberikan Allah kepadanya, dan tidak ada kewajian qadha atasnya." (HR Daruquthni). Dan dalam lafal lain menurut riwayat Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim disebutkan: "Barangsiapa yang berbuka puasa Ramadhan karena lupa, maka tidak wajib qadha atasnya dan tidak pula wajib membayar kafarat."
Apakah mimpi dan mengeluarkan sperma serta mandi junub di siang hari Ramadhan membatalkan puasa ?
Sesungguhnya bermimpi basah (mimpi yang disertai mengeluarkan sperma) tidak membatalkan puasa. Sebab hal itu di luar kemampuan dan kesadaran manusia atau merupakan perbuatan yang tidak disengaja. Begitu pula mandi jinabat tidak membatalkan puasa.
Bagaimana hukumnya manji junub setelah terbit fajar?
Orang-orang yang akan berpuasa diperbolehkan makan dan minum dan atau bersenggama (jima') pada malam hari sampai terbit fajar atau sebelum masuk waktu shalat Shubuh. Sebagaimana diatur dalam Surat Al-Baqarah ayat 187, sesudah waktu tersebut seseorang diperintahkan untuk tetap berpuasa. Dalam hal ini jika seseorang baru selesai bersenggama pada saat terbit fajar, tentu mandi junubnya hanya dapat dilakukan setelah terbit fajar atau setelah lewat waktu Shubuh. Sesuai dengan isyarat dalam ayat di atas, maka ia tetap diwajibkan berpuasa. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa diperbolehkan mandi junub setelah terbit fajar dan puasanya tetap sah.
Hukum ini diperkuat dengan sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim Ibnu Hiban dan Ibnu Khuzaimah dari 'Aisyah bahwa suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasul dan bertanya tentang mandi junub setelah fajar, sementara 'Aisyah mendengarkan dari balik tirai. Kemudian Rasul menjawab bahwa beliau juga pernah mengalami hal serupa untuk menunjukkan bahwa puasa orang itu tetap sah. Ada lagi satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah dan Ummu Salmah yakni: "Sesungguhnya Nabi Saw ketika masuk Shubuh dalam keadaan junub setelah jima' kemudian mandi dan berpuasa."
Bagaimana hukum puasa bagi orang yang lemah fisiknya, seperti orang lanjut usia, orang sakit, musafir, wanita hamil dan menyusui serta pekerja berat ?
Orang lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan, jika merasa berat (tidak mampu) berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa. Sabda Rasululllah : "Diberi rukhshah (keringanan) bagi orang lanjut usia untuk berbuka puasa dan memberi makan orang miskin setiap harinya, serta tidak ada kewajiban qadha' atasnya. (HR Daruquthni dan Hakim. Keduanya mensahihkan).
Orang yang sakit di bulan Ramadhan boleh tidak berpuasa, namun wajib mengganti (qadha') di luar bulan Ramadhan, sebanyak hari yang ditinggalkan. Firman Allah swt: "dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka) maka wajib baginya puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS. Al Baqarah: 185).
Adapun musafir (orang yang melakukan perjalanan), mereka adalah orang yang oleh Allah diberi keringanan untuk meninggalkan puasa sebagaimana diatur dalam ayat al-Quran di atas dan Hadits berikut : "Sesungguhanya Allah menggugurkan puasa dari musafir dan separuh shalatnya, menggugurkan puasa dari wanita hamil dan menyusui. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).
Dalam hadits tersebut juga tertera dalil bagi wanita hamil dan menyusui. Seperti musafir mereka juga merupakan golongan orang-orang yang berhak menerima rukhsah (keringanan) untuk meninggalkan puasa. Di sini tidak dibedakan antara yang hamil tua atau muda, sebab umumnya kondisi mereka lemah. Begitu pula wanita menyusui. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip Syariat Islam yang luwes dan bijaksana ini mereka diperbolehkan berbuka atau meninggalkan puasa.
Tentang penggantian puasanya, apabila puasa itu mengkhawatirkan keselamatan dirinya saja maka mayoritas ulama membolehkan mereka tidak puasa tapi wajib mengqadhanya saja tanpa membayar fidyah. Dalam hal ini kedudukan mereka sama dengan orang sakit. Kalau puasa itu mengkhawatirkan anaknya maka mereka boleh tidak puasa tapi ulama berbeda pendapat tentang penggantiannya. Apakah mereka hanya wajib qadha atau bayar fidyah saja, atau kedua-duanya.
Dr. Yusuf Qardhawi cenderung untuk memfatwakan bahwa mereka cukup membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin saja dan tidak usah mengqadha. Tapi keringanan ini lebih ditujukan bagi wanita yang setap tahun hamil atau menyusui sehingga tidak sempat mengqadha. Misalnya pada bulan puasa tahun ini ia hamil, tahun depan menyusui. Kemudian tahun depannya hamil dan menyusui lagi. Kalau wanita seperti ini diwajibkan untuk mengqadha puasa berarti harus bepuasa secara terus-menerus. Hal ini tentu saja menyulitkan, padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan.
Adapun bagi pekerja berat, mereka dapat diklasifikasikan dalam dua bagian. Pertama, pekerja berat yang sifatnya kontinyu sehigga tidak mempunyai waktu luang untuk mengqadha lantaran sehari-hari pekerjaannya keras dan kasar. Sebagai gantinya mereka harus membayar fidyah sebagaimana firman Allah: "dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya, membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin." (Al-Baqarah:184). Kedua pekerja berat yang sifatnya temporer yang masih memiliki waktu luang untuk melakukan qadha. Karenanya mereka ini wajib mengqadha puasanya sebagaimana orang sakit yang masih diharapkan sembuh dan musafir.
Bagaimana hukumnya orang berpuasa tapi tidak shalat? Apakah ibadah-ibadah itu saling berkaitan sehingga yang satu tidak diterima bila yang lain ditinggalkan ?
Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat kafir terhadap orang yang meninggalkan salah satunya, ada yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengeluarkan zakat, dan ada pula yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat saja mengingat kedudukannya yang sangat penting dalam agama, selain juga didasarkan pada hadits Rasulullah Saw: "(Hal yang membedakan) antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan shalat." (HR Muslim)
Apa hukumnya orang yang membatalkan puasa dengan sengaja?
Menahan lapar, haus, dorongan seks, tidak merokok dan segala yang membatalkan puasa pada bulan Ramadhan adalah pekerjaan yang sangat berat bagi orang yang tidak memiliki iman dan tidak menyadari manfaat puasa serta kerugian meninggalkannya. Satu hari dari bulan Ramadhan tidak dapat digantikan kecuali oleh satu hari dari bulan Ramadhan yang lain. Sedangkan pada setiap bulan Ramadhan seorang Muslim senantiasa mempunyai kewajiban berpuasa, dan kewajiban ini tidak mungkin dapat dihindarkan.
Oleh karena itulah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud mengatakan : "Barangsiapa yang tidak berpuasa selama satu hari dari bulan Ramadhan tanpa ada rukhshokh untuknya, maka tidaklah ia dapat menggantinya meskipun dengan puasa setahun. “ (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Begitulah gambaran puasa yang jika ditinggalkan dengan sengaja tanpa alasan yang dibolehkan agama akan berakibat buruk bagi pelakunya. Sampai ditebus dengan puasa seumur hidup pun tidak bisa karena begitu besar dosanya.
Benarkah berkumur dan istinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam berwudlu mempengaruhi keabsahan puasa ?
Berkumur-kumur atau beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam berwudlu itu ada yang mengatakan sunnah sebagaimana madzhab 3 orang imam, yitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi'i. Ada juga yang berpendapat fardhu sebagaimana Imam Ahmad yang menganggapnya sebagai bagian dari membasuh muka.
Terlepas apakah hal ini sunnah atau wajib, maka seyogyanya berkumur dan beristinsyaq dalam berwudlu janganlah ditinggalkan, baik saat puasa ataupun tidak. Hanya saja, pada waktu berpuasa janganlah memasukkkan air terlalu dalam ke rongga hidung seperti halnya ketika tidak berpuasa. "Apabila engkau beristinsyaq, maka bersungguh-sungguhlah kecuali jika engkau sedang berpuasa." (HR Syafi'I, Ahmad, Imam yang empat dan Baihaqi).
Orang yang berkumur-kumur dan melakukan istinsyaq saat berwudlu kemudian secara tidak sengaja ada air yang masuk ke tenggorokannya maka puasanya tetap sah. Hal ini juga sama jika tanpa sengaja kemasukan debu, tepung, ataupun lalat yang masuk ke tenggorokannya. Kesemua itu merupakan ketidaksengajaan yang dimaafkan, meskipun ada sebagian ulama' yang menentang pendapat ini. Begitu pula berkumur-kumur di luar wudhu juga tidak mempengaruhi kesahihan puasa asalkan airnya tidak masuk ke perut (karena sengaja dan berlebihan).
Bagaimana dengan wanita yang haidhnya melebihi masa normal haidh ?
Pada dasarnya yang melebihi dari batasan tertentu masa haidh itu adalah darah istihadhah (darah kotor). Dalam masalah ini, harus diperhatikan saat mana wajib meninggalkan puasa serta mengqadha'nya karena darah haidh, dan saat mana tetap wajib berpuasa karena darah istihadhah. Dan lantaran ada berbagai alternatif, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Pertama : Jika lama haidh wanita itu dapat ditentukan setiap bulan sebelumnya, misal 6 hari, maka darah yang keluar selebihnya dari waktu tersebut dapat dinyatakan sebagai darah istihadhah, sehingga setelah 6 hari itu tetap wajib berpuasa sebagaimana biasa.
Kedua : Jika lama haidh wanita itu tidak dapat ditentukan setiap bulan sebelumnya, atau bahkan belum pernah haidh. Maka darah yang keluar harus dapat dibedakan antara darah haidh dan istihadhah dengan ciri masing-masing. Darah haidh bercirikan pada warna yang agak kehitaman, kental dan baunya menyeruak tajam. Sedangkan darah istihadhah agak kekuningan, lebih cair dan baunya sebagaimana darah biasa. Ketika darah yang keluar itu telah bercirikan darah istihadhah, maka wanita itu telah wajib berpuasa.
Ketiga : Jika lama haidh wanita itu tidak dapat ditentukan setiap bulan sebelumnya, atau belum pernah haidh, sedangkan darahnya sendiri tidak dapat dibedakan. Maka yang dinyatakan sebagai darah haidh diperkirakan sebanyak hari yang menjadi kebiasaan wanita pada umumnya, yakni 6 atau 7 hari. Sehingga selebihnya dinyatakan sebagai darah istihadhah, yang berarti sesudah masa 6-7 hari itu ia wajib berpuasa.
Bolehkah seorang Muslimah meminum obat penunda haidh agar tidak tertinggal puasa Ramadhannya ?
Muslimah yang kedatangan haidh pada bulan Ramadhan adalah tidak wajib untuk melaksanakan puasa pada bulan itu dan wajib mengqadhanya pada bulan yang lain. Hal ini merupakan suatu kemurahan dari Allah dan rahmat-Nya kepada wanita yang sedang haidh, karena pada waktu itu kondisi badan seorang wanita sedang lelah dan urat-uratnya lemah.
Oleh sebab itu, dengan sungguh-sungguh Allah mewajibkannya agar berbuka, bukan sekedar membolehkan. Apabila ia berpuasa, maka puasanya tidak akan diterima dan tidak dipandang mencukupi. Dia tetap wajib mengqadhanya pada hari-hari lain sebanyak hari-hari ia tidak berpuasa, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata : "Kami diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat." (HR Bukhari).
Sesungguhnya keluarnya darah haidh merupakan perkara thabi'i (kebiasaan) dan fitrah bagi setiap wanita, karena itu hendaklah dibiarkan berjalan sesuai dengan fitrahnya sebagaimana ia diciptakan oleh Allah. Namun demikian, jika ada wanita Muslimah menggunakan pil untuk mengatur (menunda) waktu haidnya sehingga ia dapat terus berpuasa pada bulan Ramadhan, hal ini tidak terlarang, dengan syarat pil tersebut dapat dipertanggungjawabkan tidak akan menimbulkan mudharat baginya.
Untuk mengetahui hal ini, sudah tentu harus dikonsultasikan dulu dengan dokter ahli kandungan/kebidanan. Apabila dokter menyatakan bahwa bahwa penggunaan pil tersebut tidak membahayakan terhadap dirinya, maka ia boleh menggunakannya.
Bagaimana jika berbuat dosa, misalnya berdusta, ketika sedang berpuasa ?
Secara syar'i sesuatu ibadah itu dipandang sah jika telah terpenuhi syarat dan rukunnya serta terhindar dari segala yang membatalkannya. Menahan diri dari perbuatan dosa bukan syarat dan rukun puasa. Maka perbuatan dosa bukanlah sesuatu yang membatalkan puasa. Puasanya itu sendiri tetap sah, walaupun demikian pahalanya berkurang atau gugur. Sah di sini adalah dalam pengertian, cukup untuk menuhi kewajiban dan tidak wajib mengqadhanya pada hari yang lain. Sabda Rasul Saw : "Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan batil, maka di sisi Allah tidaklah ia berguna meninggalkan makan dan minumnya (puasanya)." (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). "Banyak orang yang berpuasa, namun tiada baginya dari puasa itu melainkan lapar. (HR. Nasai dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Kedua hadits itu telah mengisyaratkan bahwa Allah tidak akan memberikan pahala kepada orang yang berpuasa jika ia selalu berbuat dosa. Logikanya, pahala orang yang berpuasa itu akan berkurang oleh perbuatan dosa yang dilakukannya. Maka, walaupun sekali berbuat dosa puasanya akan tetap berkuarang pahalanya. Jika berulang kali dosanya, maka akan habis semua pahalanya.
Bagaimanakah hukum melafazkan niat puasa ?
Segala sesuatu yang berhubungan dengan niat, selalu ada dalam hati, atau selalu dengan hati. Oleh sebab itu, melafazkan atau mengucapkan niat tidaklah wajib hukumnya. Namun demikian, tidak pula berarti suatu bid'ah yang dosa dan sesat. Meskipun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Pengucapan niat pada hakikatnya dimaksudkan untuk memasukkan isi lafaz niat tersebut ke dalam hati yang oleh sebab itu menurut suatu madzhab dipandang sunnah hukumnya, lantaran diyakini akan menjadi pendorong bagi tercapainya sesuatu yang wajib. Hanya satu hal yang perlu diperhatikan, yakni wajibnya sebuah niat, tidak akan pernah dapat terpenuhi hanya dengan ucapan lisan tanpa ada dalam hati.
Apakah sah puasa satu bulan Ramadhan dengan niat satu kali saja ?
Puasa Ramadhan adalah ibadah, dan setiap ibadah wajib disertai dengan niat, sebagaimana dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari 'Umar bin Khathab ra, yang dapat disimpulkan bahwa sebuah niat tidak dapat digunakan untuk dua kali ibadah atau lebih.
Hari-hari puasa Ramadhan merupakan suatu bentuk ibadah tersendiri yang sama sekali tak terkait dengan puasa hari sebelum dan sesudahnya. Oleh sebab itu, setiap hari puasa Ramadhan membutuhkan niat tersendiri.
Namun demikian, sebagian dari para fuqoha ada pula yang berpendapat lain yakni bahwa; "puasa sebulan Ramadhan itu, cukup hanya dengan berniat satu kali saja pada hari pertama". Pendapat ini didasarkan bahwa puasa sebulan Ramadhan itu adalah sebuah kesatuan, tidak terpecah-pecah, sehingga layak disebut sebagai satu bentuk ibadah, dalam artian antara malam hari yang boleh makan minum dengan siang hari yang harus berpuasa, sudah merupakan suatu gabungan ibadah puasa.
Bagaimana hukum qadha yang tertunda sampai Ramadhan berikutnya ?
Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha (mengganti) puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya. Namun demikian, tidak mustahil ada orang-orang dengan alasan tertentu belum juga melaksanakan qadha puasa itu sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.
Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti, selalu ada halangan, sering sakit, bersikap apatis, gegabah, mengabaikannya dan lain-lain. Sehingga pelaksanaan qadha itu tertunda sampai Ramadhan berikutnya.
Penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa halangan yang sah maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika penagguhan itu disebabkan oleh udzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.
Adapun mengenai kewajiban fidyah yang dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha itu, diantara para fuqaha ada dua pendapat. Pertama, penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah, baik penangguhan itu karena udzur atau tidak. Kedua, penangguhan itu ada tafshil (rincian) hukumnya yakni, jika penangguhan itu karena udzur, maka tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Sedangkan jika penangguhan itu tanpa udzur maka menjadi sebab diwajibkannya fidyah.
Apakah qadha puasa harus dilakukan secara berurutan ?
Qadha puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 184. Tidak ada ketentuan mengenai tatacara qadha selain dalam ayat tersebut. Dan tidak ada pula dalil yang menunjukkan bahwa qadha itu harus dilakukan secara berurutan.
Malah sebuah hadits sharih (tegas dan jelas) yang diriwayatkan Daruquthni dari Ibnu Umar menyataan : "Qadha puasa Ramadhan itu, jika ia berkehendak maka ia boleh melakukannya secara terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya secara berurutan."
Bagaimana jika wafat sebelum melaksanakan qadha ?
Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi yang berhubungan dengan Allah. Sehingga orang yang wafat sebelum memenuhi kewajiban qadha puasa Ramadhan sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang kepada Allah. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.
Adapun dalam prakteknya ada dua pendapat. Pertama yang menyatakan pelaksanakan qadha orang yang wafat tersebut dapat diganti dengan fidyah. Sebagaimana diatur dalam hadits : Siapa saja wafat dan mempunyai kewajiban puasa maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya. (HR Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Pendapat kedua mengatakan bahwa pihak keluarganya yang wajib melaksanakan qadha puasa tersebut sebagai gantinya dan tidak boleh dengan fidyah. Dalam prakteknya qadha itu boleh dilakukan orang lain dengan seidzin atau atas perintah keluarganya. Ini didasarkan oleh sebuah hadits : Siapa saja yang wafat dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya berpuasa untuk menggantikannya. (HR. Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah)
Pendapat kedua ini lebih kuat karena landasan haditsnya lebih shahih. Sedangkan pendapat pertama haditsnya kurang kuat.
Bagaimana jika lupa jumlah hari puasa yang harus diqadha ?
Dalam keadaan seperti ini lebih baik jika ditentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Kelebihan hari qadha lebih baik dari pada kurang karena kelebihan itu akan menjadi ibadah sunnah yang memiliki nilai tersendiri.
Batalkah puasa karena operasi bedah, transfusi darah, injeksi, infus, mengobati mata, menghirup minyak angin dan minyak wangi ?
Pembedahan dalam operasi tidak menjadi sebab batalnya puasa. Yang menjadi sebab pembatalannya adalah pembiusan sebelum operasi itu dilakukan. Pembiusan itu akan mengakibatkan seseorang kehilangan kesadarannya. Ketidaksadaran itu sama halnya dengan orang yang pingsan atau hilang akal yang menyebabkan batal puasa.
Tentang transfusi darah, mengambil atau memasukkan darah dengan alat tertentu, pada zaman Rasul tidak dikenal. Agak sulit untuk menentukan batal-tidaknya puasa akibat tranfusi darah ini. Para fuqaha sepakat bahwa segala tindakan yang akan melemahkan tenaga maka hukumnya makruh bahkan haram jika tindakan itu kemudian akan menyebabkan seseorang tidak mampu lagi melanjutkan puasanya. Namun jika tindakan itu merupakan suatu langkah darurat untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tranfusi darah diperbolehkan.
Seperti sudah diketahui secara umum orang yang diambil darahnya biasanya selalu diberi susu atau makanan yang berfungsi untuk menguatkan keadaan tubuhnya yang lemah. Karena itu orang yang memberikan darah dalam keadaan berpuasa sebaiknya membatalkan puasanya, dengan alasan menghindari diri dari kemudharatan. Sebaliknya orang yang menerima transfusi karena sudah pasti dia adalah orang yang sedang sakit parah, bahkan bisa jadi tidak sadarkan diri, maka puasanya batal.
Tentang injeksi atau memasukkan cairan obat lewat jarum suntik pada tubuh seseorang, pada zaman Nabi tidak dikenal. Untuk itu, dalam menentukan hukumnya bagi orang yang sedang berpuasa para ahli fiqh mengaitakannya dengan hukum dasar puasa. Salah satu sebab yang membatalkan puasa adalah masuknya makanan atau minuman ke dalam perut atau usus melalui kerongkongan (jalan masuk makanan dan atau minuman). Injeksi tidak berhubungan dengan dengan kerongkongan, sehingga ahli fiqh sepakat bahwa cairan yang masuk ke tubuh itu tidak membatalkan puasa karena tidak bertujuan untuk memasukkan makanan.
Persoalan yang mirip dengan injeksi adalah infus. Alat yang digunakan sama yakni jarum. Tapi cairan yang digunakan dalam infus sudah dimaklumi merupakan sari zat makanan. Tentang hal ini para ulama bebeda pendapat. Ada yang menyatakan puasa itu tidak batal karena bagaimana pun masuknya cairan itu tidak melalui kerongkongan yang menjadi sebab batalnya puasa.
Pendapat yang lain mengatakan batal karena sekalipun masuknya cairan itu tidak melalui kerongkongan melainkan ke pembuluh darah, tapi dampaknya bisa menguatkan tubuh sebagaimana makanan yang masuk lewat kerongkongan pun pada akhirnya akan masuk ke darah pula.
Dr. Yusuf Qardhawi menilai bahwa hukum infus dan injeksi tidak membatalkan puasa. Tapi ulama besar itu menyarankan agar dalam menggunakan fasilitas-fasilitas itu sebaiknya tidak dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan, karena bagaimanapun zat-zat yang dimasukkan lewat jarum infus itu akan mempengaruhi kekuatan tubuh. Padahal dengan puasa Allah menghendaki agar manusia merasakan lapar dan dahaganya supaya ia mengetahui kadar nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.
Tentang pengobatan mata dan telinga dengan memasukkan cairan para ahli fiqh serta penggunaan celak mata umumnya sependapat karena ia tidak berhubungan sama sekali dengan perut dan kerongkongan maka hukumnya tidak membatalkan puasa. Ulama besar yang memfatwakan hukum ini antara lain Ibnu Taimiyah dan Yusuf Qardhawi.
Menghirup bau obat seperti minyak angin untuk penyembuhan, sekalipun masuk ke dalam tubuh melalu rongga kerongkongan dan bisa menyegarkan tubuh tidak membatalkan puasa. Lantaran yang dihirup itu adalah bukan benda yang berwujud. Jadi sama halnya dengan hukum mencium dan menghirup aroma masakan yang tidak membatalkan puasa. Alasannya dalam kehidupan sehari-hari manusia, baik sengaja atau tidak akan selalu mencium berbagai aroma.
Bagaimana Hukum Mencium Isteri Ketika Sedang Berpuasa ?
Mencium isteri pada dasarnya tidak membatalkan puasa terkecuali bila kemudian mengakibatkan keluarnya sperma. Jika demikian yang terjadi maka membatalkan puasanya.
Dalam kaitan mencium isteri yang dikaitkan dengan ibadah puasa digolongkan dalam tiga pembahasan : Mubah, yakni boleh mencium isteri jika tidak disertai syahwat. Misalnya, ciuman yang dilakukan sebagai ekspresi kasih sayang, melepas rindu setelah lama berpisah dan lain sebagainya. Singkatnya boleh, boleh mencium isteri walaupun sedang dalam berpuasa, selagi mampu menahan syahwat. "Nabi Saw mencium (isterinya), padahal sedang berpuasa. Dan beliau bersentuhan kulit, padahal sedang dalam berpuasa. Rasulullah Saw lebih mampu dari kamu dalam menahan syahwatnya." (HR Buhari, Muslim dari Aisyah).
Makruh, Yakni jika mencium isteri disertai dengan syahwat, walaupun tanpa disertai keluarnya sperma.
Haram, selain juga membatalkan puasa. Yakni mencium isteri disertai dengan syahwat yangmenyebabkan keluarnya sperma.
Batalkah Puasa Lantaran Mencicipi Masakan ?
Mencicipi masakan bagi para ibu-ibu yang sedang memasak merupakan hal yang lumrah dengan lidah, lantas dikeluarkan kembali, tidak membatalkan puasa. Dan tidak makruh pula hukumnya, meskipun dalam sekejap nikmatnya dapat dirasakan. Namun demikian, jika makanan atau minuman yang dicicip tadi sengaja ditelan ? walaupun relatif sedikit maka puasanya batal, sebagaimana batalnya puasa karena masuknya makanan atau minuman.
Bolehkah menyelam dalam air ketika berpuasa ?
Menyelam dalam air, jika dihubungkan dengan orang berpuasa, maka akan menimbulkan masalah. Dalam hal ini ada dua kemungkinan masalah yang akan menyertainya : Pertama, menyelam dalam air dengan tujuan menyegarkan badan. Kedua, menyelam dalam air yang menyebabkan batalnya puasa.
Untuk masalah pertama ada dua pendapat lagi, pertama yang menilai makruh dengan alasan bahwa sudah menjadi konsekuensi orang yang berpuasa harus bisa menahan kondisi yang timbul akibat puasa seperti lapar, haus, lemas, panas, letih dan lain-lain. Pendapat kedua merujuk pada riwayat Abu Bakar bin Abdurrahman yang menjelaskan bahwa suatu ketika para sahabat melihat Rasulullah menuangkan air ke atas kepalanya lantaran haus dan panas padahal beliau sedang berpuasa. Riwayat ini mengisyaratkan bahwa menyegarkan badan bagi orang yang berpuasa sama sekali tidak makruh.
Masalah kedua, tindakan menyelam dalam air yang bisa membatalkan puasa lantaran dikhawatirkan air akan tertelan baik melalui mulut ataupun hidung.
Bolehkah menggosok gigi ketika sedang berpuasa ?
Syari'at Islam sangat memperhatikan akan kebersihan dan kesehatan manusia. Dimana salah satu bukti tentang hal ini adalah disunnahkannya menggosok gigi ketika akan melaksanakan ibadah sholat.
Tentang dasar adanya anjuran ataupun larangan menggosok gigi pada saat berpuasa tidak ada nash yang secara terang menjelaskan. Tetapi ada hal yang menjadi pedoman bagi hal ini, yaitu jika rasa pasta gigi yang digunakan dibiarkan tertelan bersama air liur. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, yaitu tidak makruh dan sama sekali tidak membatalkan puasa bila menggosok gigi pada saat berpuasa, asalkan pasta gigi yang digunakan tidak ditelannya secara sengaja.
Batalkah puasa seseorang karena muntah ?
Muntah yang dikaitkan dengan dengan batal atau tidaknya puasa seseorang ada dua pendapat di kalangan para fuqaha. Pendapat pertama, muntah yang disengaja membatalkan puasa. Sedang muntah yang tanpa sengaja tidak membatlkan puasa. Hal ini disandarkan pada sabda nabi : "Siapa saja terdesak muntah, ia tidak wajib qadha'. Dan siapa saja yang berupaya untuk muntah maka wajib meng-qadha'nya. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dari Abu Hurairah).
Pendapat Kedua, Muntah bagi orang yang puasa, disengaja atau tidak sama sekali tidak membatalkan puasa. Pendapat ini didasarkan pada hadits nabi : "Perkara yang tidak membatalkan puasa; muntah, berbekam dan mimpi keluar sperma. (HR. Tirmidzi dan Baihaqi). Namun hadits ini adalah dlaif dari segi sanad.
Mengapa Merokok Membatalkan Puasa ?
Bagi orang yang berpuasa, memang tidak dijelaskan larangan merokok, baik dalam Al Qur'an maupun As-Sunnah. Akan tetapi hendaknya dimaklumi bahwa asap rokok yang mengandung nikotin itu merupakan benda yang berujud nyata. Sehingga, jika sengaja dihisap dan masuk dalam rongga badan (paru-paru, jantung dan usus besar), maka tidak disangsikan lagi bahwa hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana makan atau minum.

0 comments: